NAMA : HUSNUL HIDAYAT
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur dengan
hati yang tulus dan pikiran yang jernih kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T.
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat hadir dihadapan
pembaca. Adalah hanya dari pertolongan dan izin Allah,
Disamping itu Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W. beserta keluarganya dan para shahabatnya
yang dengan penuh kesetiaan telah mengobarkan syi’ar
Makalah yang berada dihadapan pembaca
ini membahas tentang “INGKAR AS-SUNNAH” Dan kami berharap, semoga makalah
ini dapat menambah wawasan bagi para pembacanya dan bernilai ibadah bagi
penulisnya.
Adalah sebagai konsekwensi logis bahwa
bila nantinya disana-sini akan didapati beberapa cacat, kesalahan dan
kekurangan dalam makalah ini, kami selaku penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan
segala bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun. Juga tak lupa penulis
sampaikan beribu-ribu terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Paling terakhir, hanya kepada Allah
penulis panjatkan rasa syukur dan hanya kepada-Nya pula urusan penulis
kembalikan.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi
keperluan pembaca dan semoga berguna sesuai tujuan untuk kepentingan Agama,
Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya. Dan sekali lagi kami berharap supaya
makalah ini dapat bermanpaat bagi pembacanya dan amal ibadah bagi penulisnya.Amin…..Ya
Rabbal ‘Alamiin.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seluruh umat Islam, baik yang ahli naql maupun
yang ahli aql telah sepakat bahwa haits atau sunah merupakan
dasar hukum Islam, yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat
tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan untuk
mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena
hadits merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa memahami
dan menguasai hadits, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Quran. Sebaliknya,
siapapun tidak bisa memahami hadis tanpa memahami A-Quran karena Al-Quran
merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan
hadis merupakan dasar hukum ke dua, yang didalamnya berisi penjabaran dan
penjelasan Al-Quran. Dengan demikian, antara hadis dan Al-Quran memiliki
kaitanyang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri.[1]
Dalam kaitannya dalam masalah ini, Muhammad Ajjaj
Al-Khatib mengatakan:
Al-Quran dan As-Sunnah (Al-Hadits)
merupakan dua sumber hukum Syariat Islam yang tepat, sehingga umat Islam tidak
mungkin mampu memahami syariat Islam, tampa kembali kepada kedua sumber Islam
tersebut, mujtahid dan orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan
diri dengan salah ssatu dari keduanya.[2]
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai
sumber hukum Islam, dapat di lihat pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
INGKAR AS-SUNNAH
A. PENGERTIAN INGKAR AS-SUNNAH
Ingkar as-sunnah adalah
sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal
ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.[3]
Penyebutan ingkar as-sunnah tidak
semata-mata berarti penolakan total terhadap sunnah. Penolakan terhadap
sebagian sunnah pun termasuk dalam kategoriingkar sunnah, termasuk
didalamnya penolakan yang berawal dari sebuah konsep berfikiryang dalamnya
penolakan dari sebuah konsep berfikir yang janggal atau metodologi khusus yang
diciptakan sendiri oleh segolongan orang- baik masa lalu maupun sekarang-
sedangkan konsep tersebut tidak dikenal dan diakui oleh ulamahadis dan fiqih.[4]
Ada tiga jenis kelompok ingkar As-sunnah.
Pertama,
kelompok yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan.
Kedua, kelompok yang
menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara tersurat atau
tersirat.
Ketiga, kelompok yang
hanya menerima hadis-hadis mutawatir(diriwayatkan oleh banyak orang
setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak
hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat metawatir)
walaupun sahih. Mereka beralasan dengan ayat: QS. An-Najm : 28
(
Artinya: “.... sesungguhnya persangkaan
itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm ayat 28)
Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut
penefsiran model mereka sendiri.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN INGKAR AS-SUNNAH
1. Ingkar As-Sunnah Klasik
Pada masa sahabat, seperti dituturkan oleh Al-Hasan
Al-Basri (w. 110 H), ada sahabat yang kurang begitu memperhatikan kedudukan
sunnah Nabi SAW., yaitu ketika sahabat Nabi SAW ‘Imran bin Husain
(w. 52 H) sedang mengajarkan hadis. Tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia
tidak usah mengajarkan hadis, tetapi cukup mengajarkan Al-Quran saja. Jawab
‘Imran,”tahukah anda, seandainya anda dan kawan-kawan anda hanya memakai
Al-Quran, apakah anda dapat menemukan dalam Al-Quran bahwa salat dhuhur itu
empat rakaat, salat ashar empat rakaat, dan salat magrib tiga rakaat?”
Apabila anda hanya memakai Al-Quran, dari mana anda
tahu tawaf(mengelilingi kabah) dan sa’i antara safa dan marwa itu
tujuh kali?
jawaban itu, orang tersebut berkata, anda
telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan, Allah selalu menyadarkan anda. Akhirnya
sebelum wafat, orang itu menjadi ahli Fiqh.[5]
Gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti
diatas, masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok
atau mahzab, meskipun jumlah mereka dikemudian hari semakin bertambah. Suatu
hal yang patut dicatat, bahwa gejala-gejala itu tidak terdapat di
negeri Islam secara keseluruhan, melainkan secara umum terdapat di
Irak. Karena ‘Imran bin Hushain dan Ayyub As-Sakhtiyani, tinggal di Basrah
Irak. Demikian pula, orang-orang yang disebutkan oleh imam Syafi’i sebagai
pengingkar sunnah juga tinggal di Basrah. Karena itu, pada masa itu di Irak
terdapat faktor-faktor yang menunjang timbulnya faham ingkar as-sunnah.[6]
Dan itulah gejala-gejala ingkar as-sunnah yang
timbul dikalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abat kedua hijriah
muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syariat
Islam, disamping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja.[7]
Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan
bentuk jamak dari katakharij, yang berarti ‘sesuatu yang keluar’.
Sementara menurut pengertian terminologis, khawarij adalah
kelompok atau golongan yang tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang
dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri
dari kepemimpinan Ali bin Abu Thalib r.a.
Apakah khawarij menolak sunnah ? ada sebuah sumber
yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum
kejadian fitnah (perang sudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Mu’awiyah
r.a.) diterima oleh kelompok khawarij. Degan alasan bahwa sebelum kejadian itu
para sahabat dinilai sebagian orang-orang yang adil (muslIm yang sudah
akil-balig, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun,
sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawaarij menilai mayoritas sahabat
Nabi SAW sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan para
sahabat sesudah kejadian itu ditolak kelompok khawarij.[8]
b.Syi’ah dan Sunnah
Kata syi’ah berarti ‘para pengikut’
atau ‘para pendukung’. Sementara menurut pengertian terminologis, syi’ah adalah
golongan yang menganggap bahwa ‘Ali bin Abu thalib r.a. lebih utama daripada
khalifah sebelumnya (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman), dan beroendapat
bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi SAW) lebih berhak menjadi
khalifah daripada yang lain.
Golongan Syi’ah ini terdiri dari
berbagai kelompok dan tiap-tiap kelompok menilai kelompok lain sudah keluar
dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah
kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerimahadis Nabawi sebagai
salah satu sumber syariat Islam. Hanya saja, ada perbedaan mendasar antara
kelompok syi’ah ini dengan golongan Ahl-AlSunnah (golongan
mayoritas umat Islam), yaitu dalam hal penetapan hadis.
Golongan syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi
SAW., mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam),kecuali beberapa
orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu golongan syi’ah
menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut.
Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl Al-Bait saja.[9]
Arti kebahasaan dari mu’tazilah adalah
“sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksudkan disini adalah
golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka
berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq(berbuat maksiat) tidak
dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun golongan Ahl As-Sunnah berpendapat
bahwa orang Muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia
berdosa. Pendapat mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan
Al-Basri, dan dipelopori oleh Washil bin ‘Ata (w. 131 H).
Apakah mu’tazilah menolak sunnah? Syekh
MuhammadAl-Khudari Beik berpendapat bahwa mu’tazilah menolak sunnah. pendapat
ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) dan kelompok
yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran pada waktu itu di
Bashrah Irak adalah Mu’tazilah. Prof. Dr. Al- Siba’i tampaknya sependapat
dengan pendapat Al-Khudari ini.[10]
Imam As-Syafi’i memang menuturkan perdebatannya
dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa orang
yang menolak sunnah itu. Sementara sumber-sumber yang menerangkan sikap
mu’tazilah terhadap Sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mu’tazilah menerima
Sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima sebagian
Sunnah saja.
Ada sebagian Ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak
Sunnah, yaitu Abu Ishak Ibrahimbin Sajyar, yang populer dengan sebutan Al-Nadhdham (w.
221-223 H). Ia mengingkari kemukjizatan Al-Quran dari segi susunan bahasanya,
mengingkari mu’jizat Nabi Muhammad SAW., dan mengingkari
hadis-hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan
sebagai sumber syari’at Islam.
d.Pembela Sunnah
Pada masa klasik, Imam As-Safi’i telah
memainkan perannya dalam menundukkan kelompok pengingkar sunnah. Seperti telah
disebutkan, dalam kitabnya Al-Umm, beliau menuturkan pendapatnya dengan orang
yang menolak hadis. Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional, dan
ilmiah, pengingkar sunnah akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Oleh
karena itu Imam As-Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir
As-Sunnah (pembela Sunnah).
2.Ingkar
As-Sunnah Masa Kini
Sejak abat ketiga sampai abat keempat belas Hijriah,
tidak ada kalangan yang menunjukkan bahwa di kalangan orang Islam terdapat
pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syariat
Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak Sunnah
yang muncul pada abad 1 Hijriah (ingkar As-Sunnah Klasik) sudah lenyap ditelan
masa pada abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti
itu muncul kembali kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang
berbeda dari Ingkar As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar As-Sunnah
klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap
fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar As-Sunnah modern muncul di
Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialismeyang ingin
melumpuhkan dunia Islam.
Apabila ingkar As-Sunnah klasik masih banyak yang
bersifat perorangan dan tidak menamakannya mujtahid atau
pembaharu, ingkar As-Sunnah modern banyak yang bersifat kelompok
yang terorgnisasi, dan tokoh-tokohnya banyak yang meng klaim dirinya sebagai
mujtahid dan pembaharu.
Apabila para pengingkar Sunnah pada masa klasik
mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruannya, para pengingkar
sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun pada
meraka yang telah yang diterangkan urgesi Sunnah dalam Islam. Bahkan, diantara
mereka, ada yang tetap menyebarkan pemikiran secara diam-diam, meskipun
penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.
Kapan aliran Ingkar As-Sunnah modern itu lahir?
Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa ingkar As-Sunnah modern lahir
di Kiro Mesir pada masa Syekh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M). Dengan
kata lain, Syekh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan
gagasan ingkar As-Sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi
catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitab nya Adhwa ‘ala
As-Sunnah al-Muhammadiyahitu benar.
Abu Rayyah menuturkan bahwa Syekh Muhammad Abduh
berkata, “Umat Islam pada masa sekarang ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain
Al-Quran, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya
fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, ”umat Islam sekarang tidak mungkin
bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di
Al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju
tanpa ada semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu Al-Quran. Semua
hal selain Al-Quran akan menjadi kendala yang menghalangi antara Al-Quran dan
Ilmu serta amal."
Abu Rayyah dalam menolak Sunnah banyak merujuk pada
pendapat Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini
–khususnya Syeh Muhammad Abduh- disebut sebut sebagai pengingkar sunnah. Namun,
benarkah Syekh Muhammad Abduh mengingkari Sunnah? Seperti dituturkan diatas,
Azami masih belum memastikan hal itu karena ia hanya menukil pendapat Abu
Rayyah yang belum dapat pastikan kebenarannya.
C. ARGUMENTASI INGKAR AS-SUNNAH
1. Agama Bersifat Kongkret dan Pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti. Apabila kita memanggil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-Quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti, seperti dituturkan dalam ayat-ayat berikut :
(QS.Al-Baqarah ayat 1-2
الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2}
الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2}
Artinya: Alif laam miin, Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS.Al-Baqarah ayat 1-2)
(QS. Al-Fatir ayat 31
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ
Artinya: Dan apa yang Telah kami
wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Quran) Itulah yang benar, dengan
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
mengetahui lagi Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (QS.
Al-Fatir ayat 31):
Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadis –khususnya hadis ahad- bersifat dhanni(dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada paringkat pasti. Karena itu, apabila agama Islam berlandaskan hadis –dismping Al-Quran- Islam akan bersifat ketidak pastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam Firman-nya, QS. An-Najm (pakistan)
2. Al-Quran Sudah Lengkap
Dalam syarit Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT berfirman:QS. Al-An’aam ayat 38:
4 $¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Artinya: Tidaklah Kami Alfakan sesuatu
pun dalam Al-Kitab (Al-Quran)
Jika kita berpendapat Al-Quran masih memerlukan
penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan Al-Quran dan kedudukan
Al-Quran yang membahas segala hal secara tutas. Padahal, ayat diatas membantah
Al-Quran masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, dalam syari’at Allah di
ambil pegangan lain, kecuali Al-Quran. Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi
dan Abu Rayyah.[11]
3. Al-Quran
Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Quran tidak memerlukan penjelasan, justru
sebaliknya Al-Quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Allah berfirman,
QS. An-Nahl 89:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya: (dan ingatlah) akan hari
(ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari
mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.
4. (QS. Al-An’am 114):
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Artinya: Maka patutkah Aku mencari hakim
selain daripada Allah, padahal dialah yang Telah menurunkan Kitab (Al Quran)
kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang Telah kami datangkan Kitab kepada
mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan
sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.
Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar
Sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al-Quran sudah cukup karena
memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang yang
menolak hadis secara keseluruhan, seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
D. BANTAHAN
TERHADAP INGKAR SUNNAH
1. Bantahan
terhadap Argumen pertama
Alasan mereka bahwa sunnah itu dhanni ( dugaan kuat
) sedang kita di haruskan mengikuti yang pasti ( yakin ), masaklahnya tidak
demikain. Sebab , Al-qur’an sendiri meskipun kebenarannya sudah di yakini
sebagai Kalamullah- tidak semua ayat memberikan petunjuk hukumyang pasti sebab
banyak ayat yang pengertiannya masih Dzanni ( Ad-dalalah ). Bahkan, orang yang
memakai pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat menyakinkan bahwa
pengertian itu bersifat pasti ( yakin ). Dengan demikian, berarti Ia jga tetap
mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat( dzanni Ad-dalala).
Yang di maksud dengan kebenaran ( Al-haq) di sini
adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi,maksud ayat ini selengkapnya
adalah,bahwa dzanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap denagn
pasti, sedangkan dalam halmenerima hadis, masalahnya tidak demikian.
Untukmembantah orang-orang yang menolak hadis ahad,
abu Al- husain al- basri Al mu’tazili mengatakan,”dalam menerima hadis- hadis
ahad, sebenarnya kita memakai dali-dali pasti yang mengharuskan untunmenerima
hadis itu” jadi, sebenarnya kita tidakmemakai dzanni yang bertentangan dengan
haq,tetapi kita mengikuti atau memakai dzann yang memegang perintah Allah.
E. INGKAR
SUNNAH DI INDONESIA
Paham Ingkar Sunah muncul di Indonesia secara
terang-terangan kira-kira terjadi pada tahun 1980-an. Persisnya
menurut Zufran Rahman (seorang peneliti pemikiran Ingkar Sunah dan Dosen IAIN
Jambi) pada tahun 1982-1983. Tetapi bukti menunjukkan, bahwa
pada 1981 paham ini sudah ada seperti yang terjadi di Bogor pimpinan oleh H.
Endi Suradi dan 1982 aliran sesat yang diajarkan H. Sanwani asal
kelahiran Pasar Rumput itu sudah berlangsung sejak November 1982.
Tokoh-tokoh Ingkar Sunah dan Pemikirannya
1. Ir. M Ircham Sutarto
Ir. M. Ircham
Sutarto adalah Ketua Serikat Buruh Perusahaan Unilever
Indonesia di Cibubur Jawa Barat. Menurut Hartono Ahmad
Jaiz (Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang
menulis diktat dengan tulisan tangan.
Di antara ajarannya yang dimuat dalam Diktat
dan dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai berikut :
a. Taat kepada Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada Rasul, Rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang sebenarnya (M Ircham Sutarto : 85).
b. Allah telah mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada. Allah dan Rasul-Nya menunggal dalam ajaran agama ( H Ircham Sutarto : 82 & 85).
c. Al- Qur’an adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Itulah arti taat kepada Allah dan kepada Rasul (M Ircham Sutarto : 52 & 85)
d. Keterangan al-Qur’an itu ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan keterangan yang disebut al-sunah atau hadis (M Ircham Sutarto : 58)
e. Semua keterangan yang datang dari luar al-Qur’an adalah hawa. Jadi hadis Nabipun termasuk hawa. Karena itu tidak dapat diterima sebagai hujah dalam agama (M Ircham Sutarto : 22)
f. Apa yang disebut Hadis-hadis Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng tentang Nabi yang didapat dari mulut ke mulut. Timbulnya dari gagasan orang-orang yang hidup antara tahun 180 sampai dengan 200 setelah wafatnya Rasul ( M Ircham Sutarto : 68 & 70)
g. Rasul tidak ada hak mengenai urusan perintah agama. Olehnya dibawakan ayat QS Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah ada (haq)
wewenang bagi kamu tentang urusan (perintah) sedikitpun”. (terjemahan M Ircham Sutarto)
h. Perbedaan Muhammad sebagai Rasul dan Muhammad sebagai manusia ; Apabila Muhammad menyampaikan, membacakan mengajarkan al-Qur’an dan hikmah, di saat itu Muhammad sebagai Rasul. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad sedang melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala fi’il dan qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa. (M Ircham Sutarto : 94)
i. Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat wahyu, termasuk Muhammad saw. Dalilnya QS. Al-Baqarah/2 : 198
Dan ingatlah kepadanya seperti yang
telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya
benar-benar orang tersesat.(terjemahan M Ircham Sutarto: 15 & 16)
j. Di dalam agama, perbuatan lahiriah merupakan pelengkap batiniah atau iman (MIrcham Sutarto: 51)
2. Abdurrahman
Diantara
ajarannya:
a. Tidak
ada adzan dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib
b. Seluruh salat
masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c. Puasa Ramadhan hanya dilaksanakan bagi yang
melihat bulan saja berdasarkan QS.Al-Baqarah/2 :
185:
“ Karena itu barang
siapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Mereka
memahami ayat ini bahwa yang wajib berpuasa adalah yang melihat bulan
saja, bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa,
akhirnyua mereka tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya
3. Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
Dalimi
Lubis salah seorang oknum karyawan Kantor Departemen Agama Padang Panjang,
lulusan IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan
Ingkar Sunah Indonesia) dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra
Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah dilakukan melalui
tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel maupun buku dan kaset
rekaman ceramahnya yang direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia. Di antara
tulisan artikel Dalimi Lubis tentang penghujatan terhadap perawi Hadis Abu
Hurairah dimuat di Suara Muhammadiyah No. 05/80/1995. Judul
buku-buku karyanya antara lain ; Alam Barzah dan Adapun
Hukum dalam Islam Hanya al-Qur’an Saja.
4. As’ad bin Ali Baisa
Di antara ajarannya ialah sebagai berikut :
a. Shalat Jum’at harus dikerjakan 4
rakaat
b. Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci
Ramadhan karena sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi
wanita yang haid harus melakukan shalat.
c. Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul
mujtahid (mujtahid pemula).Isinya banyak yang bertentangan
dengan al-Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d. Orang yang habis mengambil air wudu jika
terkencing dan buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa
terus shalat saja
e. Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah.
Ada tiga jenis kelompok ingkar As-sunnah.
Pertama,
kelompok yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan. Kedua,
kelompok yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara
tersurat atau tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir (diriwayatkan
oleh banyak orang setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin mereka berdusta)
dan menolak hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat
metawatir) walaupunsahih.
Sejak abat ketiga sampai abat keempat belas Hijriah,
tidak ada kalangan yang menunjukkan bahwa di kalangan orang Islam terdapat
pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syariat
Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak Sunnah
yang muncul pada abad 1 Hijriah (ingkar As-Sunnah Klasik) sudah lenyap ditelan
masa pada abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari Ingkar As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar As-Sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar As-Sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Quran terjemahan.
2. Agus
Solahudin,muhammad, Agus suyadi. Ulumul Hadis. Pustaka Setia,
Bandung, 2008
3. Mudasir, ilmu
hadis. Pustaka Setia, Bandung, 2010
4. Daud
Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari snouck Hugronje Hingga Harun
Nasution. Bandung: syaamil. 2006
5. Al-Hakim. Al-Mustadrak
‘ala Ash-Shahihain. Beirut: Dar Al-Ma’rifat. T.t. Juz I
6. Muhammad Azami
Musthafa. Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin. Pustaka
Hidayah. Jakarta. 1992
7. Musthafa
As-Siba’i. As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab
Al-Islami. 1980. Jilid I
Emoticon
Note: Only a member of this blog may post a comment.