MAKALAH IJTIHAD

IJTIHAD


Penulis :

Husnul hidayat


A. Pengertian Ijtihad

        Ijtihad menurut Etimologi berasal dari bahasa Arab "Jahada". Bentuk kata marshdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya :

  • Jahdu, dengan arti kesungguhan, sepenuh hati atau serius.
  • Juhdu, dengan arti kesungguhan atau kemampuan yang didialamnya terkandung arti sulit, berat dan susah.
        Dalam pengertian umum, ijtihad adalah megerahkan segala kemampuan dan energi sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan.

        Ijtihad secara adalah mencurahkan segala kempuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar'i dari dalil-dalil syara', yaitu Al-qur'an dan As-sunnah.

Kemudian Ijtihad juga banyak ditafsirkan oleh beberapa ulama berikut :
  • Ijtihad menurut Imam Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-fuhuli adalah menggerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum Syar'i yang bersifat anali melalui istimbath.
  • Ijtihad menurut Ibnu Subki sdslsh pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum Syar'i.
  • Ijtihad menurut al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam adalah pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum Syara' dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.

      Kata Ijtihad berasal dari kata Ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersunggu-sungguh mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihat adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersunggu-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat secara tertentu.

B. Dasar Hukum Ijtihad

         Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini adalah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun dari hukum wadh'i . Karen yang berwenang melakukan aijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih.

         Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari hasil ijtihadnya adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sebdiri, kedua dari segi mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya 

        Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang nujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum Syara' dalm hal-hal yang Syara' sendiri tidak menetapkan secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad sebagai berikut :

Surat Al-Hasyr ayat 2, yang artinya :
"Maka ambil Iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan

        Dalam kedudukannya sebagai faqih yang pendapatnya akan di ikuti dan diamalkan oleh orang lain yang meminta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung pada keadaan kondisi mujtahid dan umat disekitarnya.

      Hukum berijtihadnya menjadi sebagai berikut :
  • Wajib ain' apabila seprang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan Ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus itu akan luput dari hukum.
  • Wajib kifayah apabila seorang faqih ditanya tentang suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad.
  • Sunat apabila keadaan yang ditanyakan kepada faqih belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki hukumnya untuk mnengantisipasi timbulnya kasus tersebut.
  • Haram apabila faqih berijtihad untuk kasus yang telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih qath'i, atau apabila orang yang melakukan ijtihad belum mencapai tingkat faqih.
  • Mubah apabila dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash Al-Qur'an maupus Hadis, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang.  


C. Peranan Ijtihad dan Lapangannya 

           Menurut Abdul Wahab Khalif, persoalan yang menjadi lapangan ijtihad adalah semua hak yang bersifat zanni (tidak pasti), baik dari segi datangnya dari Nabi maupun dari segi maksud yang dikandung suatu ayat atau hadis, dalam hal ini lapangan ijtihad dapat di dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
  1. Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan seorang atau beberapa orang, tetapi jumlah perawinya tidak sampai ke hadis mutawatir. Keberadaan hadis ahad berasal dari Nabi SAW, hanya sampai saat dugaan kuat (zanni). Berarti bahwa hadis itu mungkin saja palsu meskipun dugaan itu sangat kecil, untuk membuktikannya para mujtahid melakukan ijtihad dengan menguji kebenaran jalur periwayatannya.
  2. Rdaksi Ayat Al-Qur'an atau Hadis yang mengandung pengertian zanni sehingga mungkin saja mempunyai pengartian lain selain yang cepat diketahui ketika mendengan buni rdaksi tersebut. Dalam hal ini, ijtihad mengambil peran untuk menentukan makna mana yang sebenarnya yang dimaksud redaksi tersebut.
  3. Semua persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan hadis, sementara itu tidak ada ijma' ulama yang menjelaskan hukum kasus tersebut. dan melalui pendekatan tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, 'urf dan lai-lain.

D. Pembagian dan Macam-Macam Ijtihad 
     1. Pembagian Ijttihad

Ada beberapa pendapat ahli Ushul mengenai pembagian ijtihad, diantaranya :
  1. Menurut Mahdi Allah membagi ijtihad menjadi dua :
         a. Ijtihad mutlaq, yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milah                  masalah hukum tertentu.
         b. Ijtihad juz'i, yaitu kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalami                bagian hukum yang lain.

      2. Menurut Muhammad Abu Zahrah membagi ijtihad menjadi dua :
          a. Ijtihad istimbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum                    dari dalil-dalil yang telah ditentukan.
          b. Ijtihad tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan                       hukum, tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mudtahid terdahulu kepada                                 kejadian yang muncul kemudian.

     3. Menurut Ibn Subki, kegiatan ijtihad tathbiqi dibagi menjadi dua :
         a. Takrij al-ahka, yaitu enetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang baru dengan cara                          menghubungkannya dengan hukum yang pernah ditetapkan imam mujtahid terdahulu.
         b. Tarjih, yaitu udaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan dikemudian hari bagi                      pengikut seorang imam mujtahid unuk diikuti dan dijalankan.

    
  2. Macam-macam Ijtihad

        a. Ijtihad di lihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam :
           
            1. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun                 sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi pentunjuknya. 
            2. Ijtihad qiyas, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan  hukum terhadap suatu kejadian                 yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath'i maupun secara                   dhanni, juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukunya.
            3. Ijtihad istilahi, yaitu karya ijtihad untuk menggali, menemukan, dan meneruskan hukum                       Syar'i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak                 terdapat nash dan tidak mungkin mencari kaitannya dengan nash yang ada juga belum                         diputuskan dalam ijma'.

       b. Dari segi hasil yang dica[ai melalui ijtihad, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk :
           
           1. Ijtihad mu'tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan                            hukum.
           2. Ijtihad ghairu mu'tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang sevagai cara                dalam menemukan hukum.

      c. Menurut al-Mmwardi menbagi ijtihad dari sudut kegiatan ijtihad dalam kaitannya dengan cara            yang digunakan menjadi delapan macam.
        
        1. ijtihat yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam nash.
        2. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kemiripan yang terdapat dalam nash.
        3. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kuumuman lafaz nash.
        4. Ijitihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan nash.
        5. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kaedaan yang terdapat dalam nash. 
        6. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil dalam nash.
        7. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari 'amarat (petunjuk yang urang kuat) dalam             nash.
        8. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari nash juga bukan dari prinsip nash.

    d. Ijtihad dilihat dari segi pelaksanaannya atau siapa yang terlibat lansung dalam melakukan                   penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu.
       
       1. Ijtihad faardi dalah setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh persetujuan dari para                    mujtahid terhadap suatu masalah.
       2. Ijtihad jama'i adalah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid                          terhadap siatu masalah.

E. Syarat-Syarat Bagi Mujtahid
  • Menguasai bahasa Arab
    Ulama Ushul fiqh telah bersepakat bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena Al-Qur'an diturunkan sebagai syariat dalam bahasa Arab, begitu juga dengan sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari Al-Qur'an  juga tersusun dalam bahsa Arab.
  • Mengetahui naskh dan mansukh dalam Al-Qur'an 
     Syarat ini telah ditentukan oleh imam syafi'i dalam kitabnya al-Risalah. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan dan nilai Al-Qur'an sebagai pedoman dari sumber pertama syari'at yang bersifat abadi samai hari kiamat. Menurut Imam Syafi'i bahwa seorang mujtahid itu disyaratkan hafal Al-Qur'an secara keseluruhan dan menguasai segala ini kandungannya, memahami maknanya secara globa, mempelajari secara mendalam dan rinci tentang kandungan ayat-ayat hukum serta tafsirnya menrut sahabat, dengan mempelajari azbabun Nuzul agar mengetahui maksud dan tujuannya.
  • Mengerti Hadis
   Seorang mujtahid harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan), fi'liyah (perbuatan) maupun taqririyah (perbuatan), minimal pada setiap pokok masalah menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya, Munjahd juga harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam sunnah, 'am dan khasnya, mutlaq dam muqayyadnya, takhsis dari yang umum.
  • Mengerti letak Ijma' dan Khilaf 
     Letak ijma' yang tidak diragukan lagi terjadinya dan harus dimengerti oleh para mujtahid adalah maslah dasar faraidh, banyak kabar mutawatir yang yang meninjukkan adanya ijma' tersebut. begitu juga masalah wanita yang diharamkan yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an dan Hadis telah terjadi ijma' di dalamnya. Dengan mengetahui letak ijma' yang telah disepakati para ulama salaf, maka seorang mujtahid juga harus mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi pada para fuqaha.
  • Mengetahui Qiyah
     Imam Safi'i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui adalah jalan-jalan qiyas, jalan-jalan qiyas yang harus diketahui oleh mujtahid antara lain :
  1. Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum beserta 'illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu' (cabang).
  2. Mengetahui auran-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyah dengan sesuatu dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat 'ilat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu'.
  3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salaf yang shalih dalam dalam mengetahui 'illat-'illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqih.
  • Mengetahui maksud-maksud hukum
    Sudah dimaklumi bahwa hukum dalam syari'at islam itu dimaksudkan dan bertujuan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. sebagai realisasinya, maka syari'at islam harslah mampu menjaga kemaslahatan manusia yang tiga tingkatan :
  1. Dharuriyyat (pasti)
  2. Hajiyyat (kebutuhan)
  3. Tahsinat (perlengkapan)
  • Pengetahuan tentang Ushul Fiqh
    Seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang shul fiqh, karena ilmu ini mempelajari apa-apa yang diperlukan untuk berijtihad., dengan mengetahui ilmu ini ia akan mampu mengembalikan furu' dengan cara yang mudah.

F. Tingkatan Mujtahid

Tingkatan ijtihad dibagi kedalam beberapa tingkatan, yaitu :

  • Mujtahid fisy-syary, yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syari'at yang hasilnya di ikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad.
  • Mujtahid fil mazhab, yaitu mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri, akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa dengan beberapa perbedaan baik dalam beberapa masalah yang utama maupun beberapa masalah cabang.
  • Mujtahid fil-masail, yaitu mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum.
  • Mujtahid muqayyat, yaitu mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum.
  • Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang berusaha menggali dan mengenal hukum furu' namun ia tidak sampai mengistimbathkan sendiri hukum dari dalil syari' maupun dari nash imamnya.
  • Mujtahid muwazzin, yaitu mujtahid yang tidak mempunyai kempuan untuk mentarjih diantara beberapa pendapat mazhab, tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan pendapat dalam mazhab kemudian beradil dengan apa yang dianggapnya lebih tetap untuk diamalkan.
  • Golongan huffaz, golongan ini tidak melakukan kegiatan ijtihad dalam pengertian istilah, tetapi mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hukum -hukum yang telah ditentukan imam mujtahid terdahulu secara lansung dari nash atau apa yang ditemukan oleh mujtahid mazhab dengan mentakrijkannya dari pendapat imam mazhab.
  • Golongan mukllid, golongan ini kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengrtian istilah, juga tidak mempunyai kempauan untuk mentakhrijkan pendapat imam, ia juga tidak memahami dalil-dalil.


G. Metode Ijtihad

   Metode yang dimaksud disini adalah thariqah, yaiitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan, merumuskan hukum syara'.

Langkah-langkah yang harus seorang mujtahid dalam istimbath hukum antara lain :

  • Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir, maka mujtahid harus mencari penjelasan dengan merujuk kepada Al-Qur'an.
  • Jika tidak menemukan hukum dalam Al-Qur'an maka mujtahid merujuk pada hadis.
  • Kemudian mujtahid mencari jawaban dari kesepakatan ulama sahabat.
  • Bila tidak ada kesepakatan sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid menggukan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskan dalam formulasi hukum yang kemudian di sebut fiqh.


Kemuadian mengenai metode ijtihad, secara garis besar :

  • Metode ihtihsan 
  • Metode maslahah mursalah
  • Metode istihab
  • Metode 'urf
  • Metode mazhab sahabi
  • Metode sya'u man qablana 
  • Metode sabdu al-Zari'ah


H. Pembatalan Ijtihad

  • Apabila seoarang berijtihad untuk dirinya sendiri dan setelah hasilnya diamalkan ketahuan salahnya, maka ia harus membatalkan ijtihad yang pertama dengan yang kedua.
  • Apabila seorang berijtihad untuk kepentingan memberikan fatwa atau keputusan suatu persengketaan dan kemudian dan ternyata apa yang telah difatwakan atau diputuskan itu bertentangan dengan suatu nash atau ijma', maka ia wajib untuk memberitahukan keepada orang yang telah diberi fatwa atau membatalkan keputusan yang telah diambilnya.





DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana ), hlm 237
Muctar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung : Alma'arif), hlm 373.
Amir Syarifuddin, Ushul..., hlm 283-240.
Amir Syarifuddin, Ushul..., hlm 240-243.
Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta Timur : Zikrul Hakim), hlm 76-77.
Amir Syarifuddin, Ushul..., hlm 283-292.
Mukhtar Yahya, Ushul..., hlm 379-381.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustaka Firdaus : Jakarta), hlm 568-575.
Amir Syarifuddin, Ushul..., hlm 282.
Muchtar Yahya...., hlm 383-384. 


Note: Only a member of this blog may post a comment.